Siang itu pula, mereka telah bertekad, berjanji setia untuk tunduk dan patuh membesarkan sebuah jamaah. Sebuah komunitas yang berbeda dari biasanya. Komunitas yang ingin menegakkan kalimat Allah setinggi-tingginya yang bersifat syamil dan universal. Mereka berbaiat kepada pimpinannya, diambil janji setianya untuk berkorban jiwa raga, baik di kala lapang atau sempit. Sekarang, mereka tak gentar lagi menyerukan kebenaran walau berada di tengah-tengah musuhnya.
Sontak, kabar baiat dan sumpah setiap di komunitas baru itu membuat ciut nyali musuh-musuhnya yang sekarang bertengger di atas kekuasaan sebuah negeri. Maka diutuslah salah seorang ajudan untuk bernegosiasi dengan pimpinan jamaah itu. Berdirilah rijal-rijal jamaah menyaksikan negosiasi dengan sang utusan.
Negosiasi alot, penuh interupsi, dan penolakan. Namun akhirnya, negosiasi pun berhasil dirumuskan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Hasil kesepatakan menunjukkan masing-masing diminta menahan diri untuk tidak berseteru apalagi melakukan intrik satu atas lainnya dalam tempo waktu yang telah disepakati.
Riak-Riak di dalam Jama'ah
Namun kesepakatan itu terlihat timpang jika dilihat sepintas. Maka tak elak jika rijal-rijal yang berada di samping pimpinan tersebut pun seakan 'protes' dan bahkan 'mempertanyakan' kredibilitas dari sang pimpinan.
Sebagai contoh, saat sang pimpinan meminta salah seorang rijal untuk mencoret isi teks diktum di lembar surat, sang rijal pun 'enggan'. Lebih jauh lagi, seorang rijal yang berbadan tegap dan memiliki hamasah yang tinggi seakan tidak percaya melihat pemandangan 'negosiasi' tersebut.
Sang rijal yang berperangai 'keras' itu berkata kepada sang pimpinan, "Bukankah kita di atas kebenaran sementara musuh berada di atas kebatilan?”
Sang pimpinan menjawab, “Tentu.”
"Kalau begitu, kenapa kita memberikan kerendahan pada jamaah kita?,” sergah sang rijal dengan cepatnya.
Sang pimpinan menjawab singkat, “Aku tidak akan mendurhakai-Nya dan Dialah penolongKu.”
Tak puas dengan jawaban sang pimpinan, rijal itu pun menoleh kepada rijal yang lain yang terkenal dekat dengan sang pimpinan. Sang rijal yang penuh semangat ini pun mengutarakan semua yang diutarakan sebagaimana diutarakan kepada pimpinannya.
Namun sang teman dari rijal yang memang berkarakter low profile tersebut menjawab, "Dia tidak sedang menyelishihi Rabbnya dan Dialah penolongnya, patuhilah perintahnya! Demi Allâh sesungguhnya ia di atas kebenaran.”
Sebuah jawaban yang singkat dan padat dari kolegannya itu ternyata menancap sekali di hati sang rijal. Akhirnya ia pun menyesali atas perbuatan yang tidak 'mengenakkan' kepada pimpinannya tersebut, seraya berkata, "Aku terus berpuasa, bersedekah dan memerdekakan budak (sebagai tebusan) dari apa yang telah aku perbuat, karena aku merasa cemas terhadap ucapan yang pernah aku ucapkan kala itu, sehingga saya berharap itu menjadi kebaikan.”
Tak hanya itu, akibat keputusan itu seakan anggota jamaah yang sebelumnya telah berjanji setia pun seakan 'kendor'. Terbukti, saat pimpinannya memerintahkan untuk mengerjakan 'sesuatu,' semua anggota jamaah seakan tak mengindahkannya. Bahkan perintah itu diulangi sebanyak tiga kali. Perintah itu baru dilaksankan saat sang pimpinan mengerjakannya lebih dahulu.
Tahukah Pembaca, Siapakah Rijal-Rijal di Atas dan Kapankah itu Terjadi?
Rijal pertama yang menolak menghapus beberapa teks di diktum perjanjian adalah sahabat Ali bin Abi Thalib ra.. Sahabat Ali tidak mau menghapus nama Rasulullah saw. yang telah tersemat apik di surat tersebut untuk diganti dengan lainnya. Beliau melakukan itu tak lain karena tak inginnya 'kekasih' panutannya dilecehkan di lembar kertas tersebut.
Sedangkan sahabat yang seakan 'memprotes' keputusan pimpinannya adalah sahabat Umar bin Khattab ra.. Sahabat yang memiliki watak keras dan tegas itu tak ingin agama Islam direndahkan, apalagi harus 'mengemis-ngemis' di bawah kezalimannya orang-orang musyrik. Persis seperti julukan beliau 'AL-FARUQ', pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
Sedangkan rijal yang memberi jawaban atas pertanyaan Umar adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Persis dengan julukannya, beliau tetap akan membenarkan Rasulullah saw. dalam keadaan apapun dan dalam situasi bagaimanapun.
Tentu, pimpinan dari ketiga rijal yang mulia di atas adalah Rasulullah saw., manusia pilihan yang selalu sabar mendidik para sahabat-sahabatnya. Beliau tak marah saat sahabat-sahabatnya 'protes.' Karena beliau tahu, para sahabat-sahabatnya itu tak melakukan itu kecuali untuk meninggikan agamanya Allah swt.
Kejadian di atas terjadi tepatnya saat perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian yang menyejarah dan membuktikan dahsyatnya visi seorang pemimpin sebuah kaum yang baru tumbuh di tengah-tengah kemusyrikan.
Sebuah perjanjian yang memang terlihat minor dan tak seimbang. Lihat saja, isi perjanjian tersebut:
- Kedua pihak tidak akan menyerang selama sepuluh tahun
- Untuk kali ini Muhammad beserta jamaahnya kembali ke madinah saja, dengan ketentuan bahwa tahun depan mereka dapat memasuki kota makkah untuk melakukan umrah dan bermukin di sana selama tiga hari.
- Jika ada orang (pihak ketiga) yang akan bergabung dengan pihak Muhammad, tidak akan ada halangan dari pihak quraisy. Demikian pula jika ada orang (pihak ketiga) yang mau bergabung dengan quraisy.
- Jika ada orang orang yang di bawah kekuasaan Quraisy lari dan hendak bergabung dengan Muhammad, dia harus disuruh kembali ke Quraisy. Sebaliknya jika ada pengikut Muhammad yang lari hendak bergabung dengan quraisy, dia tidak disuruh kembali.
Poin keempat inilah yang menjadikan al-Faruq 'memprotes' dan tak terima agamanya dilecehkan dan direndahkan di hadapan orang-orang kafir Quraisy.
Namun berkat pandangan visioner dari Rasulullah saw., beliau mampu menangkap kesempatan emas dari perjanjian tersebut. Rasulullah saw tahu persis watak dan karakter pengikutnya. Beliau menganggap tak mungkin ada orang mukmin yang akan kembali dan bergabung dengan kafir Quraisy sehingga beliau tak mengkhawatirkan poin keempat. Jikalaupun ada, maka orang seperti itu tak layak untuk dipertahankan. Itulah pandangan tajam dari Rasulullah saw. Belum lagi, dengan masa damai yang lapang, potensi untuk melebarkan sayap dakwah sangat terbuka lebar.
Bahkan bermula dari perjanjian inilah, Allah swt. menurunkan sebuah ayat kemenangan yaitu al-Fath, yang berisi akan diberikannya kemenangan yang nyata setelahnya.
"Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Q.S. al-Fath: 1)
Mengomentari ayat tersebut, Rasulullah saw. berkata, "Sungguh telah diturunkan kepadaku malam sebuah surah yang ia lebih aku sukai daripada tempat terbitnya matahari (dunia)."
Mendengar sabda tersebut, sahabatnya Umar bertanya keheranan, "Apakah ini sebuah kemenangan?"
Rasulullah saw. menjawab, "Ya."
Maka sejak saat itulah, jiwa Umar yang memiliki hamasah (ghirah yang kuat) dan kecintaan terhadap jamaah pun menjadi tenang.
Kaum Muslimin pun merasakan kebahagiaan yang amat sangat, Mereka seakan baru menyadari ketidakmampuan mereka untuk mengetahui semua faktor penyebab dan hasil akhir sesuatu dan mereka pun menyadari bahwa semua kebaikan itu ada pada sikap taslîm (pasrah dan tunduk) kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Tahukah pembaca, kemenangan apakah itu? Kemenangan itu adalah ditaklukkannya negeri Mekah dengan damai dan berduyun-duyunnya lautan manusia ke dalam jamaah yang diridhai oleh Allah, yaitu ISLAM. Wallahu a'lam
No comments
Silahkan berkomentar dengan baik.